SURABAYA – Hacker Bjorka muncul dengan klaim membocorkan data pribadi para pejabat pemerintahan dan data-data negara di Indonesia. Masyarakat menanggapinya secara pro kontra.
Ada yang menganggapnya bak pahlawan. Namun, ada juga yang tidak setuju dengan caranya yang dinilai melanggar privasi.
Pakar hukum siber Fakultas Hukum Universitas Airlangga Masitoh Indriani SH LLM menanggapi fenomena tersebut dengan menekankan tentang urgensi pengelolaan cyber security system di Indonesia.
Dosen yang mendalami isu perlindungan data pribadi itu mengatakan munculnya peretasan tersebut menandakan kekacauan dalam pengelolaan cyber security system di Indonesia.
Baca juga:
Catatan Akhir Tahun KPK Menyongsong 2022
|
“Apakah ini sebagai bentuk protes? Bjorka mungkin melihat abainya para stakeholder dan kurang seriusnya dalam pengelolaan cyber security system, ” katanya, Kamis (15/9/2022).
“Sehingga dengan sistem yang vulnerable, terjadilah peretasan-peretasan dan pelanggaran terhadap data pribadi itu. Namun, perlu dilihat juga aspek yang lain, tingkat kepatuhan terhadap regulasi. Dan, yang paling penting adalah materi dari regulasi itu sendiri, ” imbuhnya.
Pakar hukum siber Fakultas Hukum Universitas Airlangga Masitoh Indriani SH LLM.Melanggar Privasi
Masitoh menambahkan, penyebaran data pribadi itu jelas melanggar privasi yang dilindungi konstitusi dan merupakan tindak pidana cyber crime. Berdasar hukum Indonesia, hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap privasi yang diatur dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Cyber crime ini tindak pidana yang unik karena bersifat transnasional. Pengungkapan tindak pidana ini effort-nya sangat tinggi karena bersinggungan dengan kerja sama internasional dan kemampuan sumber daya manusia di Indonesia yang mungkin juga terbatas, ” ungkapnya.
Payung Hukum
Masitoh menjelaskan bahwa Indonesia sudah lama menyusun payung hukum berupa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP). Namun, hingga saat ini belum disahkan juga.
“RUU PDP adalah salah satu unsur penting dalam pengelolaan cyber security system di Indonesia agar menjadi lebih baik. Ruang lingkup RUU PDP ini mencakup definisi data pribadi dan data sensitif, hak dan kewajiban bagi pengendali dan pemroses data, hak dan kewajiban subjek data, adanya DPO (Data Protection Officer, red) dan DPA (Data Protection Authority, red), serta mekanisme penyelesaian sengketa data pribadi, ” terangnya.
Khusus untuk keamanan negara, ujar Masitoh, dapat dibuat undang-undang lain tentang cyber security system, selain RUU PDP. Masitoh menekankan bahwa jangan sampai pemerintah Indonesia menggunakan paradigma konvensional pada era digital seperti saat ini.
Kasus Kebocoran
“Siapa yang paling bertanggung jawab tentang kasus kebocoran data seperti ini sebenarnya kita perlu melihat dua hal. Apakah dari sisi PSE (orang atau badan usaha yang mengoperasikan sistem elektronik, Red) atau murni ada serangan dari luar. PSE sendiri nanti harus dilihat siapa yang melakukan pengendalian dan pemrosesan data, ” katanya.
“Kalau serangan dari hacker luar, harus dicek apakah karena ada kelalaian PSE mengelola sistemnya sehingga ada hole untuk diserang? Atau memang murni serangan dari hacker? Ini penting sekali untuk menentukan siapa yang paling bertanggung jawab, ” tambahnya.
Sebagai penutup, Masitoh menegaskan bahwa data dianggap sebagai the new oil dalam konteks ekonomi digital sebagai salah satu hak yang fundamental bagi warga negara. Menurutnya, akan ada banyak kerugian fatal yang terjadi apabila cyber security system di Indonesia tidak dibenahi dengan segera.
“Intinya, cyber security system di Indonesia masih sangat lemah. Karena itu, kita harus memperkuat regulasinya, seriusi implementasi dan penegakan hukumnya, serta dorong dan perbaiki sumber daya manusia dan infrastrukturnya, ” tutup Masitoh. (*)
Penulis : Dewi Yugi Arti
Editor: Feri Fenoria